Suatu siang yang terik, saat menjemput anakku di sekolah. Aku melihat seorang anak laki-laki kira-kira kelas 4 sedang menangis di marahin mamanya. Terdengar perdebatan antara si anak dan mamanya.
Anak: “Tapi aku capek Ma….hari ini nggak usah les dulu ya…” Kata si anak sambil terisak-isak.
Mama: “Kamu gak boleh males, gak boleh cengeng. Kalo mau berhasil kamu harus berjuang keras”
Anak: “Tapi aku bener-bener capek…please Ma, hari ini aja deh”
Mama: ” Gak…kamu harus tetep les, ayo cepet kita makan lalu Mama antar kamu les…” Si Mama tetap pada pendiriannya.
Aku melihat sambil senyum-senyum. Aku bersyukur karena gak perlu membujuk dan memaksa anakku seperti itu, karena memang anakku gak ikut les. Aku dan suamiku berusaha menyediakan waktu untuk menemani anak-anak belajar.
Rupanya si Mama melihatku tersenyum memandang mereka.
Mama: “Tuh diliatin, masak gak malu” katanya kepada anaknya. ” Kalo mau pinter dan naik kelas harus tekun belajar ya Bu…” katanya menasehati anaknya sambil bicara kepadaku. Dan aku sekali lagi tersenyum, kali ini dengan menganggukkan kepala.
Mama: ” Nah tuh kan…kamu gak boleh males dan cengeng, ayo les biar nilainya bagus…”
Anak: “Aaah Mama…please Ma. Mama ni lho jahat banget, masak aku gak boleh istirahat”
Mama: “Eh kok malah bilang Mama jahat….Mama ini sayang sama kamu, makanya kamu dilesin, biar kamu pinter”
Tampaknya si anak laki-laki ini menyerah terhadap keinginan Mamanya dan dengan langkah gontai masih dengan wajah sembab dia mengikuti si Mama masuk ke mobil mereka.
Aku hanya memandang kasihan si anak tersebut. Kasihan juga anak-anak ini yang dipaksa orangtuanya untuk les mata pelajaran setelah mereka capek di sekolah belajar dari pagi sampai siang. Mungkin memang nilainya tidak sesuai harapan, tetapi belum tentu karena si anak tidak bisa mungkin juga karena si anak sudah terlalu capek belajar, sehingga hal yang mudah pun akhirnya tidak mampu dikerjakan.
Dari percakapan mereka aku juga jadi merenung, benarkah si Mama ini sayang sama anaknya. Pada saat itu apakah dia tidak sedang mencintai diri sendiri. Dia malu anaknya nilainya tidak bagus, maka dia memaksa anaknya les. Benarkah motivasinya itu untuk kebaikan si anak? Ataukan untuk diri sendiri, untuk kebanggaan diri?
Seringkali sebagai orangtua, kita merasa tahu kebutuhan anak kita, kita selalu berkedok demi kebaikan anak kita, tetapi sesungguhnya tanpa kita sadari sebenarnya kita sedang mencintai diri sendiri lebih dari mencintai anak kita. Motivasi kita seringkali karena malu anak kita tidak bisa ini, tidak bisa itu lalu kita memaksa anak kita melakukan ini dan itu dengan kedok untuk kebaikan mereka.
Sudah saatnya kita selalu bertanya pada diri kita “benarkah yang aku lakukan ini demi anakku?”. Apakah motivasi kita sudah benar?