Loan to Value

Membicarakan property, mau tidak mau kita juga harus membicarakan tentang pembiayaan.  Apalagi yang seperti kita ketahui, harga property saat ini semakin melambung. Pilihan menggunakan pembiayaan dari pihak ke-3 bisa menjadi sebuah solusi yang cerdas.

Namun demikian, melihat lonjakan yang luar biasa dari segi pembiayaan ini, pemerintah c.q. Bank Indonesia mengeluarkan aturan Loan to Value (LTV) 70%, pada September 2013 yang lalu. Memang sedikit terlambat apabila saya membahas tentang aturan LTV ini. Tapi kali ini saya akan lebih banyak membahas mengenai dampak dari kebijakan tersebut.

 

Apa itu Loan to Value…?

Melalui Surat Edaran BI No.:  15/40/DKMP, 24 September 2013; pemerintah mengeluarkan aturan pembatasan maksimum pembiayaan dari Bank. Adapun detailnya sbb.:

Loan to Value Table

Tipe KPR/KPA Pertama KPR/KPA Ke-2 KPR/KPA Ke-3, dst
> 70 m² 70% 60% 50%
22 – 70 m² 80% (khusus KPA) 70% 60%

Jadi misalnya; kita akan membeli sebuah apartemen dengan luas 100 m²: apabila itu adalah KPA pertama kita, maka maksimum KPA yang bisa disetujui adalah 70% dari harga apartemen tersebut. Artinya, uang muka (down payment/DP) yang harus dibayarkan kepada pihak pengembang adalah 30%. Tetapi jika itu adalah KPA yang ke-2, maka maksimum KPA yang disetujui adalah 60%.

Aturan LTV ini tidak berlaku untuk pembiayaan rumah (KPR) pertama, untuk rumah dengan luas 22 – 70 m² (Rumah Sangat Sederhana/RSS).

Selain dari maksimum pembiayaan di atas, pemerintah juga memberi batasan; pengembang tidak diperbolehkan menjual rumah/apartemen indent bagi KPR/KPA ke-2, dst. Jadi hanya property yang ready stock (sudah siap bangun di atas 80%) saja yang boleh menggunakan KPR/KPA ke-2, dst.

 

Dampak untuk konsumen

Tentu saja, pihak pertama yang merasakan dampak tersebut adalah pihak konsumen.  Baik dampak secara positif maupun negatif. Dampak negatif akan banyak dirasakan oleh konsumen yang bermotif investasi. Biasanya konsumen seperti ini, jumlah KPR/KPAnya bisa lebih dari 1, bahkan bisa sampai 5 atau lebih. Dengan adanya aturan ini, akan semakin besar dana yang harus mereka keluarkan untuk membayar uang muka pembelian property ke-2, ke-3, dst. Yang kemudian terjadi adalah, para investor ini sedikit mengerem dalam berinvestasi. Mereka akan sangat selektif dalam membeli sebuah property. Property yang benar-benar menguntungkan saja yang akan mereka buru.

Yang juga merasakan dampak negative dari aturan LTV tersebut adalah konsumen yang tidak mempunyai tabungan yang cukup, terutama untuk membayar uang muka. Walaupun mereka sebenarnya mempunyai penghasilan yang cukup untuk membayar cicilan per bulan. Akan semakin panjang harapan mereka untuk memiliki sebuah property, apalagi harga semakin lama semakin tinggi.

Dampak positif akan dirasakan bagi sebagian konsumen lainnya. Secara umum laju kenaikan harga property akan melambat (nanti akan saya jelaskan kaitannya di dampak bagi developer). Jadi harga akan semakin relative terjangkau. Dan kesempatan mereka untuk dapat memiliki property juga semakin besar.

 

Dampak untuk pengembang

Sudah jelas, bahwa aturan LTV ini juga mempunyai dampak yang cukup besar bagi pengembang. Dengan semakin ketatnya aturan dalam membeli produk property, pengembang sebagai “produsen” property jelas sangat terpukul. Permintaan otomatis akan turun. Para investor tidak akan leluasa lagi membeli property yang diinginkannya. Dengan semakin selektifnya investor, artinya peminat pun menjadi lebih sedikit.

Dengan menurunnya permintaan, artinya pengembang juga tidak leluasa lagi dalam “menggoreng” harga. Hal ini terjadi di beberapa pengembang favorite, dimana sering terjadi over subscribe peminat yang akan membeli. Bukan rahasia lagi, bahwa selama ini pengembang sangat lihai dalam memainkan harga saat produk property mereka diburu oleh para investor. Akibatnya banyak terjadi over price, terutama untuk property di kota-kota besar seperti Jakarta. (Pada artikel berikut,  nanti akan saya jelaskan, bagaimana cara pengembang dalam “menggoreng’ harga).

Selain itu, pengembang juga harus mengeluarkan “jurus-jurus” baru untuk menyiasati aturan itu. Dengan semakin besarnya nilai uang muka yang harus dibayarkan konsumen, pengembang harus ”menurunkan” harga. Hal ini bisa dilakukan dengan strategy resizing. Baik itu mengeluarkan tipe-tipe yang lebih kecil, maupun down spec.

Dampak negatif akan sangat dirasakan oleh pengembang berskala menengah dan kecil. Dimana selama ini justru pengembang inilah yang “menikmati” kemudahan KPR/KPA. Dapat dikatakan hampir seluruh penjualan produk property mereka menggunakan fasilitas pembiayaan KPR/KPA. Dengan semakin sulitnya mendapat persetujuan KPR/KPA akan memukul mereka dengan telak.

Selain itu, dengan tidak diijinkannya indent untuk KPR/KPA ke-2, mau tidak mau pengembang harus membangun terlebih dahulu rumah/apartment/ruko/rukan untuk dapat dijual. Ini akan sangat berdampak pada cash flow mereka. Bukan tidak mungkin pengembang kelas kecil dan menengah akan gulung tikar.

Sedangkan bagi pengembang besar yang mempunyai modal jauh lebih kuat, aturan ini dapat diminimalisasi. Banyak yang mengeluarkan “jurus” baru, yaitu memperpanjang cara pembayaran tunai bertahap.  Bahkan ada yang sampai dengan pembayaran bertahap 120X (120 bulan/10 tahun).  Akhir-akhir ini bahkan lebih ekstrem, ada pengembang yang mendirikan unit usaha baru, yaitu pembiayaan mandiri. Yaitu pembiayaan mirip dengan KPR/KPA, tapi yang dilakukan oleh anak perusahaan pengembang tersebut.

 

Dampak untuk perbankan

Sudah pasti, pihak perbankan pun akan merasakan dampak dari LTV tersebut. Nilai consumer loan mereka pasti akan menurun dengan adanya pembatasan ini. Perbankan harus semakin berhati-hati dalam memberikan pembiayaan, selain analisa data nasabah, analisa tentang kelayakan developer dan appraisal nilai property yang sesungguhnya juga harus dilakukan secara mendalam.

Dengan adanya aturan ini, proses approval untuk KPR/KPA menjadi lebih panjang. Sehingga bagi sebagian konsumen, menjadikan mereka enggan untuk mengajukan pinjaman ke bank. Apalagi saat bersamaan,  pengembang-pengembang besar juga menyediakan pembayaran bertahap jangka panjang.

Dampak positifnya, dengan pengetatan aturan ini resiko kredit macet dapat semakin ditekan. Tetapi dari ngobrol dengan beberapa rekan perbankan, mereka berpendapat; lebih baik penjualan tinggi dengan resiko yang cukup tinggi pula. Karena sebenarnya rasio resiko menjadi lebih kecil.

 

 

1 thought on “Loan to Value”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top