Tepat 40 hari yang lalu mertua saya, bapak Markus Hindarko, dipanggil menghadap Bapa di Surga dalam usia 76 tahun di rumah beliau di kawasan Sleman, Yogya. Entah suatu kebetulan atau sudah direncanakan, saya dan keluarga berada sedang berkunjung untuk menengok bapak mertua yang saat itu baru saja pulang ke rumah semenjak dirawat di RS Bethesda beberapa hari. Bapak mertua saya, meninggalkan seorang istri beserta 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, istri saya merupakan anak bungsu.
Peristiwa ini merupakan momen yang sangat membekas dan paling berkesan, mengingat saat itu saya dan ibu mertua saya yang mendampingi saat detik-detik terakhir beliau dipanggil Tuhan. Peristiwanya berlangsung di rumah dan prosesnya berlangsung sangat cepat. Bahkan saya sempat bingung dan panik harus melakukan tindakan apa, bingung dengan segala pengetahuan dasar pertolongan pertama yang sudah saya pelajari dan kuasai semenjak sekolah sampai bekerja. Sangat berbeda sekali dengan ibu mertua saya yang tampak tabah, tenang sambil terus melantunkan doa mengiringi kepergian mendiang bapak mertua saya.
Satu hal lain yangmenarik adalah suasana gotong royong yang sangat kuat di dusun Kules, desa Sumberadi, Kecamatan Mlati, Sleman, dimana keluarga mertua saya tinggal dan menetap semenjak awal tahun 90an. Pengurus Mesjid dan juga pengurus Lingkungan Katholik langsung datang ke rumah dan pengumuman berita dukacita langsung disiarkan melalui pengeras suara di Mesjid yang berjarak hanya beberapa meter dari rumah. Ibu-ibu nya langsung mendirikan dapur umum, sementara bapak-bapak dan pemudanya langsung mendirikan tenda. Bahkan setelah pemakaman keesokan harinya, mereka mengadakan pengajian tahlilan di rumah kami.
Bapak mertua dan Ibu mertua saya adalah pengikut Yesus generasi pertama dari keluarga mereka, sama persis dengan bapak dan mendiang ibu saya, dimana kakek-nenek, ayah -ibu serta saudara-saudara mereka sebagian besar adalah muslim. Hal ini tentu merupakan tantangan yang luar biasa bagi mereka untuk memilih dan menentukan jalan hidupnya mengikuti Yesus, bagi saya mereka adalah pejuang iman yang tangguh dan berhasil menyelesaikan perjalanan didunia hingga akhir hayat dan tampil sebagai pemenang, tidak diragukan lagi. Beliau menjadi role model bagi saya, banyak teladan yang bisa saya contoh.
Mendiang Bapak mertua saya adalah lulusan Akademi Angkatan Laut generasi awal dan menjadi salah satu perintis Detasmen Kapal Selam di jaman Presiden Soekarno, selanjutnya ditugaskan untuk berkarya di Pertamina sampai dengan pensiun. Di jas beliau selalu tersemat brevet Hiu Kencana, yang menjadi identitas dan kebanggaan korps kapal selam dimana motonya adalah “Tabah Sampai Akhir”. Bapak adalah seorang yang tidak bisa duduk diam, beliau memiliki kebun buah naga di halaman rumahnya dan aktif di kegiatan gereja serta di desa. Sebenarnya bapak secara fisik cukup fit, mengingat beberapa bulan sebelumnya masih sanggup menyetir kendaraan dari Yogya ke Semarang pp. Terakhir beliau masih sempat ikut berlatih paduan suara di gereja dan tak pernah absen acara pengajian di desa sebagai tamu undangan karena dianggap sebagai salah satu sesepuh desa. Beliau benar-benar menjadi teladan bagi saya.
Selamat jalan Pak….