Di era yang serba cepat saat ini, waktu dirasakan semakin menjadi kunci dalam setiap pertimbangan dan pengambilan keputusan. Bahkan tidak heran apabila mungkin menjadi salah satu faktor yang utama. Seringkali kita mendengar orang yang mengeluh mengenai waktu ini; “Ah, seandainya dalam 1 hari ada lebih dari 24 jam.” Yang lain berkata, “Harus nunggu berapa lama lagi sih ini? Waktuku kan sangat terbatas.” Tetapi ada juga yang mengatakan, “Waduh…, gue gak tau lagi nih mau ngapain, waktu kosong gue banyak banget…”
Ya…, akhirnya waktu juga menjadi sangat relatif. Bagi mereka yang super sibuk, waktu adalah segalanya. Ada waktu luang 10 menit aja dianggap sebuah kemewahan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki banyak waktu luang, untuk menjalani waktu demi waktu dirasakan sangat panjang.
Belum lagi keterlibatan faktor psikologis/emosional. Bagi mereka yang sedang jatuh cinta, waktu berdua dengan pasangan dirasakan selalu kurang. Sebaiknya bagi yang sedang putus cinta, tentu merasaka hal berbeda, waktu sepertinya enggan berputar…
Mengenai ‘waktu’, bahasa Yunani kuno mengenal istilah “chronos” dan “kairos”. Chronos memaknai waktu sebagai urutan secera sekuensial/kronologikal. Kairos memaknai waktu sebagai suatu kesempatan.
Chronos ini lebih banyak membicarakan tentang urutan sebuah kejadian/peristiwa. Waktu dipandang dari sudut pandang kuantitatif. Yang akhirnya akan menjadi suatu catatan sejarah.
Berbeda dengan chronos, kairos menandakan selang waktu, saat waktu tak tentu di mana segala sesuatu terjadi. Tidak ada ketentuan, suatu peristiwa harus mendahului peristiwa yang lain. Sehingga waktu dipandang dari sudut pandang kualitatif. Kita sering menyebutnya sebagai “kesempatan”.
Kata kesempatan itu sendiri mengandung makna, bahwa di balik itu akan ada hal yang “baik” bagi siapa pun yang mengambilnya. Terjanjikan oleh kesempatan, ada hal baik yang mengikutinya apabila kesempatan tidak kita lewatkan.
Yang menjadi masalah, kesempatan itu mempunyai 2 sisi yang saling bertolak belakang. Ada kesempatan yang bernilai benar; kesempatan untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf, kesempatan untuk memperbaiki diri, kesempatan untuk berbuat baik dan berkata jujur, dll. Pun juga ada kesempatan yang bernilai tidak benar; kesempatan untuk tidak jujur, kesempatan untuk menipu, berbohong, untuk korupsi, untuk berbuat curang, dll.
Kesempatan yang tidak benar, sepertinya menjanjikan sebuah kebaikan. Misalnya, dengan berkata tidak jujur, mungkin saja kita saat itu tidak akan mendapatkan hukuman. Atau mungkin kita bisa mendapatkan keuntungan materi. Tapi bagaimana dengan nurani kita? Tentu kita akan terus merasa dikejar-kejar oleh rasa bersalah.
Nah, di sini letak kesulitannya, diperlukan kearifan dan hati yang tulus dalam mengambil keputusan akan setiap kesempatan yang datang. Bagaimana kita akan menyikapinya, apakah akan diambil, atau dilewatkan begitu saja.
Perlu keteguhan iman dan doa dalam setiap pertimbangan atas setiap kesempatan yang hadir. Apakah kesempatan itu baik dan benar? Ataukah justru sebaliknya? Kadangkala kesempatan itu juga terlihat abu-abu. Apalagi kesempatan itu biasanya memerlukan suatu keputusan yang cepat. Ibarat air, kesempatan itu seperti air yang mengalir, dia tidak akan pernah mengalir dua kali di tempat dan waktu yang sama.
Jadi, apa yang akan menjadi pilihan saudara-saudara semua? Apakah akan mengambil sebuah kesempatan yang datang, atau melewatkannya…? Semua tergantung dari pilihan masing-masing. Tapi yang jelas, tetap berpegang teguh dan menaruh pengharapan hanya kepada Kristus. Sehingga waktu dan kesempatan baik, tidak akan terlewatkan. Amin…